Seorang Anak dengan Frekuensi yang Tinggi Part 1

Film diawali dengan memperlihatkan segerombolan murid yang sedang berbaris didepan kelas.  Disini kita akan fokuskan kepada seorang anak perempuan yang bernama Mary. Layaknya seperti murid sekolah biasa, mereka semua langsung dipersilahkan untuk mengerjakan soal ujian yang sudah diletakkan diatas meja.

Namun bedanya, ujian ini harus dikerjakan dengan mata tertutup dengan tujuan untuk mengetahui tingkat keberuntungan setiap murid yang ada di kelas tersebut. Yang dimana semakin tinggi tingkat keberuntungan seseorang, maka dipercaya akan semakin sukses mereka di masa depan. Secara mengejutkan, Mary mendapatkan skor diatas 100 yaitu 127.

Sedangkan teman sekelasnya tidak ada yang mampu menembus angka 70, dan hanya berkisar di angka 60an. Setelah itu, datanglah seorang anak laki-laki yang bernama Zack setelah dia diajak paksa dengan temannya yang bernama Theo. Ternyata Zack ini adalah satu- satunya murid yang mendapatkan nilai dibawah 0 yaitu -7.

Dari informasi inilah, mereka semua percaya bahwa pertemuan antara muri dengan nilai paling rendah dengan murid yang memiliki nilai paling tinggi akan menimbulkan gesekan negatif. Yang ternyata memang benar, cukup menunggu selama satu menit dalam seketika. Tidak lama, Mary yang sudah tiba dirumahnya pun langsung memberikan hasil ujian yang berhasil ia raih kepada ayahnya.

Dari nilai itu, ayahnya mulai menyimpulkan bahwa Mary memiliki frekuensi yang sangat tinggi. Dan frekuensi tersebut mampu membawa keberuntungan kepadanya secara serempak. Maka dari itulah, konsep penilaian yang diterapkan oleh sekolah Mary sangat jauh berbeda dengan penilaian dari sekolah-sekolah pada umumnya.

Dimana pada masa ini, seluruh sekolah menganggap tinggi rendahnya tingkat frekuensi seseorang akan berpengaruh terhadap tingkat keberuntungan orang tersebut. Hanya saja, orang yang memiliki tingkat frekeunsi tinggi juga memiliki sebuah kelemahan yaitu mereka tidak bisa merasakan apa itu yang dinamakan bahagia, sedih, cinta, dan perasaan lainnya.

Fakta ini membuat kedua orang tua Mary cuma bisa ketar-ketir sambil termenung. Beberapa tahun setelahnya, Mary benar-benar tidak mampu bersosialisasi serta cuma fokus kepada dirinya sendiri. Bahkan ia juga dikenal sebagai murid yang bertindak selayaknya mesin tanpa adanya perasaan selayaknya seorang manusia.